Seekor Ikan Paus yang besar sedang berenang sendirian di lautan yang sangat luas. Dia berenang mengarungi lautan mencari ikan-ikan untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar. Akan tetapi, setelah berenang kesana kemari, ikan-ikan seperti menghilang dari penglihatannya. Tidak ada satu pun ikan yang bisa dimakannya.

Tiba-tiba, lautan terasa bergejolak. Ombak besar mulai mengombang-ambingkan air laut di samudera yang luas itu. Angin topan pun menderu-deru dan bertiup dengan kencang. Badai besar sudah terjadi! Aneh, padahal sebelumnya laut begitu tenang. Ikan paus itu bertanya-tanya sendiri.
Mungkin karena akan terjadi badai itu pula lah, ikan-ikan tidak terlihat. Ikan-ikan itu mungkin sudah berlarian mencari tempat aman agar terhindar dari amukan badai.

Badai masih menderu-deru di atas permukaan laut. Ombak dan gelombang besar bergulung-gulung. Sang Ikan Paus itu bingung harus berenang kemana sekarang? Dengan badai seperti ini, Ikan Paus itu mendapatkan wahyu dari Allah Swt. Penguasa seluruh jagat raya dan isi nya untuk menelan seorang manusia yang akan melompat dari sebuah perahu. Orang tersebut harus ditelan bulat-bulat dan disimpan dalam perutnya. Setelah beberapa lama, orang itu harus dikembalikan dalam keadaan utuh seperti sediakala pada saat yang ditentukan nanti.

Tak lama kemudian, Ikan Paus itu melihat seorang manusia yang sedang terombang-ambing dalam gelombang laut yang sedang mengamuk. Ikan Paus itu tidak tahu mengapa ada seorang laki-laki yang melompat dari sebuah perahu ke dalam lautan gelombang yang sedang bergejolak. Paus itu hanya melaksanakan perintah Allah Swt. untuk menelan lelaki itu bulat-bulat. Paus itu berenang mendekati laki-laki yang terombang-ambing ombak. Hap! Dengan mulutnya yang besar, Paus itu memasukkan laki-laki itu ke mulutnya dan langsung menelannya.

Setelah menelan laki-laki itu, Ikan Paus segera berenang kembali ke dasar lautan. Keanehan pun terjadi lagi. Tiba-tiba saja, Paus itu merasa perutnya kenyang dan akhirnya tertidur di dasar lautan. Ketika bangun, Paus itu merasa heran, karena banyak sekali ikan yang berada di sekitarnya.
"Hei, sedang apa kalian disini?" tanya Paus dengan heran. Tidak biasanya ikan-ikan itu mengelilinginya. "Apakah kalian tidak takut aku makan?"
Ikan-ikan itu langsung menjauh dan berpencar. Tak lama kemudian, mereka datang lagi mendekat dengan takut-takut.

"Hei, apakah aku sudah tidak menakutkan lagi bagi kalian?" tanya Paus itu lagi.
"Wahai Paus, tidakkah kamu merasa aneh dengan dirimu? Aku mendengar ada suara keluar dari dalam perutmu," kata salah satu ikan dari balik batu-batu karang.

Paus tertegun. "Suara?" Akhirnya, Paus terdiam dan mencoba mendengarkan ucapan ikan itu tadi. Beberapa hari ini, Paus tertidur dengan nyenyak sehingga tidak mendengar ada suara apapun dari perutnya. Lautan pun menjadi hening. Samar-samar terdengar suara orang yang sedang berdoa dan menyenandungkan ayat-ayat suci dengan merdunya.

Ternyata suara itu benar dari perutnya, apakah itu suara laki-laki yang sudah ditelannya beberapa hari yang lalu? Paus pun teringat wahyu yang diterimanya dari Tuhan Semesta Alam. Paus pun tenang kembali dan melaksanakan perintah itu dengan sebaik-baiknya.

Setelah berhari-hari, Allah Swt. memerintahkan Ikan Paus untuk memuntahkan kembali orang itu ke pantai. Ikan Paus pun menurutinya. Dia berenang ke permukaan laut. Laut tampak begitu tenang sekarang. Tidak ada badai yang menerpa seperti saat Paus menelan laki-laki itu. Setelah berenang mendekati bibir pantai, Paus memuntahkan kembali lelaki itu ke daratan. Lelaki itu sangat kurus dan lemah setelah terkurung dalam perutnya selama berhari-hari. Namun, atas izin Allah Swt. lelaki itu masih hidup meskipun dalam keadaan yang sangat lemah.

Setelah melihat laki-laki itu sudah mencapai daratan dengan selamat, Paus pun berenang kembali ke dasar laut dan meneruskan kembali hidupnya di lautan yang sangat luas. Paus merasa senang dan bahagia karena sudah terpilih oleh Allah Swt. untuk melaksanakan perintah-Nya.
Tahukah kalian, siapa lelaki yang ditelan oleh si Paus? Beliau adalah Nabi Yunus.

Semua bermula pada saat orang-orang Islam hijrah ke Madinah. Mereka berkumpul dan menunggu waktu shalat tiba. Saat itu, tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana caranya memberitahukan umat Islam bahwa waktu shalat sudah tiba. Oleh karena itu, pada suatu hari, Nabi Muhammad Saw. mengumpulkan seluruh sahabatnya untuk berunding. Mereka membicarakan bagaimana caranya memberitahukan saat-saat tibanya waktu shalat dan mengajak umat muslim untuk datang ke masjid melakukan shalat berjamaah.
berbagai usulan berdatangan dari para sahabat Nabi Muhammad Saw. ada yang mengusulkan untuk mengibarkan bendera pada saat memasuki waktu shalat. Apabila bendera sudah terlihat berkibar, orang yang melihatnya harus memberitahukan kepada yang lainnya bahwa sudah tiba waktu shalat. Ada yang mengusulkan untuk meniup terompet seperti agama Yahudi. Ada yang mengusulkan untuk membunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan umat Nasrani. Bahkan, ada yang mengusulkan untuk menyalakan api diatas bukit. Orang yang melihat kobaran api tersebut bisa segera datang ke masjid untuk mendirikan shalat berjamaah.
Semua usulan itu ditolak oleh Nabi Muhammad Saw. sampai akhirnya Umar bin Khathtab mengusulkan untuk meneriakkan kalimat, " Telah datang waktu shalat!" usulan itu dianggap cukup bagus dan diterima oleh Nabi Muhammad Saw.
Sementara itu, Abdullah bin Zaid bermimpi pada suatu malam. Dalam mimpinya, dia melihat seorang laki-laki dateng kepadanya dengan membawa sebuah lonceng. Abdullah bin Zaid langsung berniat untuk membeli lonceng itu.
"Untuk apa Tuan memerlukan lonceng ini?" tanya pembawa lonceng itu.
"Kami akan memukulnya untuk memberi tahu telah masuknya shalat kepada orang banyak," jawab Abdullah bin Zaid.
"Tuan, maukah saya tunjukkan cara yang lebih baik utnuk memberi tahu waktu shalat?" tanya pembawa lonceng itu setelah mendengar jawaban Abdullah.
"Oh, tentu saja," jawab Abdullah bin Zaid senang.
"Kumandangkanlah kalimat-kalimat ini," kata pembawa lonceng itu sambil mengumandangkan lafaz-lafaz azan.
Dengan perasaan gembira, pagi harinya Abdullah bin Zaid mendatangi Rasullah Saw. dan memberitahukan tentang mimpinya.
"Mimpimu itu mimpi yang bena," sabda Rasullah Saw. kemudian, Nabi Muhammad Saw. memerintahkan Bilal bin Rabah mengumandangkan azan tersebut. Sebelum Bilal melaksanakn perintah itu, tiba-tiba Umar bin Khathtab datang dan menyampaikan mimpi yang sama dengan Abdullah bin Zaid.
Ternyata, mimpi tentang lafaz azan yang dialami oleh Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khathtab itu mempunyai persamaan dengan wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw. pada Malam Isra, Nabi Muhammad Saw, dibawa ke langit ke tujuh untuk diperlihatkan dan diperdengarkan azan. Dengan adanya mimpi yang dialami oleh kedua sahabat Nabi tersebut, berarti ada kesamaan yang jelas antara mimpi dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.


Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat.
Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Shahabatnya radhiallaahu 'anhum.
Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.


Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap,
"Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga."
Para Shahabat r.hum pun saling bertatapan, di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallaahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallaahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallaahu 'anhu, dan beberapa Shahabat lainnya.


Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana.
Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu.
Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.


Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Shahabatnya, Beliau SAW pun berucap,
"Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga."
Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana.
Para Shahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa dengan pemuda sederhana itu?


Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa.
Bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga.
Seorang Shahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallaahu 'anhupun merasa penasaran.
Amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?


Maka Mu'adzradhiallaahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.


Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh.
Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih.
Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.


Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut.
Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.


Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama.
Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW.
Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu,
tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga.
Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu.


"Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga.
Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan.
Engkau tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak.
Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"


"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."


"Amalan apakah itu?"


"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain.
Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain.
Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku.
Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."


"Subhanallah...kemudian apa?"


"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan.
Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."


"Subhanallah...lalu kemudian?"


"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim.
Menjalin hubungan baik dengan siapapun.
Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."


"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga.
Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."


Wallahu a'lam bi shawwab.


Khalid bin Walid, jenderal perang Islam berjuluk “Saifullah Al-Maslul (pedang Allah yang terhunus)”. Reputasinya sebagai seorang jenderal ditakuti dan dikagumi lawan-lawannya. Namun selain kehebatannya sebagai seorang panglima perang, kaum muslimin juga banyak membicarakan hubungannya yang buruk dengan Umar bin Khattab. Krisis kepercayaan dengan sang sepupu berakhir dengan diberhentikannya Khalid Bin Walid dari kemiliteran, hal yang membuat hatinya menjadi galau.

“Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur.” – Khalid bin Walid menjelang kematiannya.

Inilah Biografi Khalid Bin Walid – Pedang Allah

Khalid bin Walid (592–642), lahir sekitar tahun 592, ayahnya bernama Walid bin al-Mughira seorang kepala suku dari banu Makhzum (bangsa Quraisy). Di saat itu banu Makhzum bertanggung jawab terhadap masalah perang, mengurus persenjataan dan tenaga tempur. Sesaat setelah dilahirkan, Khalid dikirim ke suku Badui di gurun di mana udaranya masih bersih, segar dan belum terpolusi. di usia lima atau 6 tahun, ia kembali ke Mekah. Di masa kanak-kanak tersebut Khalid juga pernah terserang cacar ringan yang mengakibatkan timbulnya bekas cacar (bopeng) dipipi kirinya.

Khalid bin Walid dan Umar bin Khattab adalah saudara sepupu dan memiliki kemiripan wajah. Keduanya sangat tinggi, Khalid memiliki tubuh yang kuat, bahu yang lebar, badan yang kekar juga berjenggot penuh dan tebal di wajahnya.

Khalid seorang juara gulat, suatu ketika ia pernah adu gulat dengan Umar bin Khattab. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Ini mungkin awal dari perseteruan dua saudara sepupu tersebut. Khalid juga jago berkuda, dimasa kecil ia juga berlatih menggunakan senjata seperti panah, tombak, dan pedang. Tombak adalah senjata favoritnya.

Di Era Nabi Muhammad saw (610–632)

Pertempuran Melawan Kaum Muslimin

Tidak banyak diketahui kisah Khalid bin Walid di masa-masa awal nabi Muhammad saw. Ayah Khalid dikenal memusuhi Islam. Setelah periode hijrah dari Mekah ke Madinah, maka pertempuran antara kaum muslimin dgn kaum kafir quraisy pun dimulai. Khalid bin Walid tidak turut serta dalam perang Badar, peperangan pertama antara kaum muslimin dengan kafir quraisy. Dalam perang ini saudara Khalid, Walid bin Walid tertangkap dan ditawan. Kemudian Khalid bersama sang kakak pergi ke Madinah untuk menembus Walid. Namun segera setelah ditembus, dalam perjalanan ke Mekah, Walid melarikan diri, kembali ke Madinah dan masuk Islam.

Khalid menyerang balik pasukan muslimin

Kepemimpinan Khalid berperan besar untuk memastikan kemenangan kaum kafir quraisy dalam perang Uhud (625 M). Tahun 627 M terjadi Pertempuran Khandaq, ini merupakan peperangan terakhir Khalid dengan kaum Muslimin.

Masuk Islam

Saat perjanjian perdamaian (Perjanjian Hudaibiyyah, Maret 628 M) berlangsung antara kaum muslimin dan kafir quraisy, sejarah mencatat bahwa nabi Muhammad berkata kepada Walid (saudara Khalid), “Seseorang seperti Khalid, pasti akan tertarik pada Islam”. Walid kemudian mengirim surat kepada Khalid, membujuknya masuk Islam. Khalid yang sebenarnya tidak terlalu mengidolakan berhala-berhala Ka’bah kemudian mengajak bicara Ikrimah bin Abu-Jahal – teman semasa kecilnya – yang menentang niatnya untuk masuk Islam.

Khalid kemudian diancam oleh Abu Sufyan yang hendak menyerangnya dengan penuh amarah, namun dihalangi oleh Ikrimah. “Sabar, Wahai Abu Sufyan, kemarahan Anda mungkin juga membawa saya untuk bergabung dengan Muhammad. Khalid bebas untuk mengikuti agama apa pun ia pilih”. Khalid sendiri membalas Abu Sufyan dengan menjawab bernada keras, “Demi Allah orang suka atau tidak, sungguh dia benar.”

Bulan May 629 M, Khalid menuju Madinah dan bertemu dengan Amru bin Ash dan Uthman bin Talha yang juga menuju Madinah untuk masuk Islam. Mereka tiba di Madinah pada 31 May 629 serta segera menuju rumah nabi Muhammad saw. Khalid kemudian diterima oleh sang kakak Walid bin Walid yang lebih dahulu masuk Islam.

Pertempuran Bersama Kaum Muslimin Di Era Nabi Muhammad saw

Tiga bulan setelah kedatangan Khalid di Madinah, nabi Muhammad saw mengirim utusan kepada penguasa Ghassanid Suriah, pengikut kekaisaran Romawi Bizantium, dengan surat mengundang dia untuk masuk Islam. Ketika melewati Mu’tah, utusan ini dicegat dan dibunuh oleh seorang kepala suku lokal Ghassanid dengan nama Shurahbil bin Amr. Secara tradisi utusan diplomatik memiliki kekebalan dan tidak boleh dibunuh. Kabar ini membuat Madinah marah.

Sebuah ekspedisi segera disiapkan untuk mengambil tindakan hukuman terhadap Ghassanid. Rasulullah lantas menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang, bila Zaid gugur maka Ja’far bin Abi Thalib yang menggantikannya, dan bila Ja’far gugur maka Abdullah bin Rawahah akan menggantikannya. Bila ketiga panglima perang tersebut gugur maka panglima perang selanjutnya dipilih oleh pasukan muslimin.

Ketiga panglima perang tersebut pun akhirnya gugur syahid. Pasukan muslimin pun kemudian memilih Khalid Bin Walid sebagai panglima perang. Khalid kemudian mengatur strategi bagaimana 3000 pasukan muslimin selamat dari pembantaian 100.000 (200.000) pasukan gabungan Romawi Bizantium dan Ghassanid Arab dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Mu’tah.

Sepanjang malam Khalid mengatur pasukannya menjadi beberapa pasukan dibelakang pasukan utama. Pagi harinya menjelang pertempuran pasukan tersebut bergerak maju seakan-akan mereka adalah pasukan bala bantuan. Romawi pun merasa gentar mengira pasukan muslimin mendapatkan pasukan tambahan dalam jumlah besar.

Saat itu sepanjang hari Khalid entah bagaimana tetap bertahan dan tidak menyerang. Malam harinya Khalid memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kembali ke Madinah. Namun Romawi tidak mengejar karena khawatir ini merupakan jebakan.

Dalam Pertempuran Mu’tah ini Khalid kehilangan sembilan pedangnya. Dan setelah pertempuran ini, Khalid diberi gelar Pedang Allah oleh Rasulullah saw.

Pertempuran Selanjutnya

Setahun kemudian pada 630 M kaum muslimin maju dari Madinah untuk membebaskan Mekah. Dalam Pembebasan Mekah ini, Khalid memimpin salah satu dari empat pasukan muslim yang bergerak dari empat arah yang berbeda mengepung Mekah. Dan hanya pasukan Khalid yang sempat mendapat perlawanan dari pasukan kavaleri quraisy yang menolak menyerah. Di tahun itu juga Khalid terlibat dalam Pertempuran Hunain dan pengepungan Tha’if.

Khalid juga terlibat dalam Pertempuran Tabuk yang dipimpin langsung nabi Muhammad saw. Khalid lalu dikirim ke wilayah Daumat-ul-Jandal dimana ia berjuang dan berhasil menangkap pangeran arab Daumat-ul-Jandal, memaksa Daumat-ul-Jandal untuk menyerah.

Pada 631 M Khalid bin Walid turut serta berpartisipasi dalam haji perpisahan Muhammad. Dalam peristiwa ini, ia mengumpulkan beberapa rambut Muhammad, sebagai peninggalan suci, yang akan menginspirasinya memenangkan pertempuran di masa mendatang.

Pertempuran Sebagai Panglima Perang Islam

Pada Januari 630 M, tahun ke 8 H, Khalid dikirim Rasullullah saw untuk menghancurkan berhala (jin ) Uzza. Seorang perempuan yang diklaim sebagai bentuk asli Uzza sukses dibunuh oleh Khalid.

Khalid juga dikirim oleh Rasulullah saw untuk mengajak banu Jadhima masuk Islam. namun Khalid melakukan tindakan kontroversial. Banu Jadhima yang sudah masuk Islam, namun Khalid menahan mereka semua dan mengeksekusi mati sebagian disebabkan permusuhan di masa lalu.

Rasulullah saw yang mendengar kabar ini lalu berdoa, “Allahumma ya Allah! aku bermohon kepada-Mu lepas tangan dari apa yang diperbuat oleh Khalid bin Walid itu.” Rasul kemudian mengutus Ali bin Abi Thalib untuk mengurus diat (ganti rugi) terhadap banu Jadhima.

Era Khalifah Abu Bakar (632–634)

Pertempuran Riddah

Setelah kematian nabi Muhammad saw, banyak suku arab yang memberontak dan menolak kekuasaan Madinah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk mengatasi pemberontakan dan mereka yang murtad. Khalid adalah salah satu penasehat utama Abu Bakar dan arsitek perencanaan strategis Pertempuran Riddah. Dia diberi komando atas brigade muslimin terkuat (terdiri dari pejuang pilihan muhajirin dan anshar) dan dikirim ke pusat arab, daerah yang paling strategis dan sensitif di mana suku pemberontak paling kuat tinggal. Daerah ini paling dekat dengan kubu muslim Madinah dan merupakan ancaman terbesar ke kota. Pertama-tama, Khalid berangkat ke suku-suku pemberontak Tayy dan Jalida, dimana Adi bin Hatim – seorang sahabat terkemuka Nabi Muhammad, dan seorang kepala suku dari suku Tayy – dikirim sebagai penengah. Kedua suku kemudian setuju kembali bergabung ke kekhalifahan.

Perjuangan Khalid dalam Pertempuran Riddah

Pada pertengahan September 632 M, Khalid mengalahkan Tulaiha, seorang pemimpin pemberontak yang mengaku sebagai nabi untuk menarik dukungan bagi dirinya sendiri. Kekuasaan Tulaiha hancur setelah pengikutnya yang tersisa dikalahkan di Pertempuran Ghamra. Khalid berikutnya bergerak menuju Naqra dan mengalahkan pemberontak suku Bani Salim dalam Pertempuran Naqra. Wilayah ini berhasil diamankan setelah Pertempuran Zafar bulan Oktober 632 dengan kalahnya Salma seorang perempuan yang memimpin sisa-sisa pembangkang murtad.

Kontroversi Pembunuhan Malik bin Nuwairah

Setelah wilayah sekitar Madinah, ibukota Islam, direbut kembali, Khalid memasuki Nejd, wilayah perkampungan dari suku banu Tamim. Banyak dari anggota suku banu Tamim yang bergegas untuk mengunjungi Khalid dan menyatakan tunduk kepada kekuasaan kekhalifahan. Tetapi suku banu Yarbu, di bawah pimpinan Malik bin Nuwairah, menolak menyerah. Malik kemudian memilih menghindari kontak langsung dengan pasukan Khalid dan memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar, dan ia dan keluarganya melarikan diri melintasi padang pasir.

Malik kemudian tertangkap oleh pasukan Khalid dan diserahkan kepada Khalid. Lalu diminta pertanggungjawaban mengenai “kejahatannya”. Malik kemudian mengatakan, “sahabat anda mengatakan ini, sahabat anda mengatakan bahwa…” merujuk kepada Abu Bakar, Khalid menyatakan bahwa Malik murtad dan pemberontak, lalu memerintahkan agar dia dieksekusi. Setelah eksekusi Malik, Khalid menikahi istrinya yang sangat cantik, Layla bint al-Minhal (Umm Tamim) di malam harinya. Kasus Malik bin Nuwairah ini memang penuh kontroversi karena Malik dan pengikutnya menyakini bahwa mereka masih muslim.

Abu Qatadah al-Anshari, seorang sahabat Muhammad, yang mendampingi Khalid sangat terkejut dengan perbuatan Khalid meng-eksekusi mati Malik dan menikahi istrinya. Dengan keadaan marah, ia segera kembali ke Madinah, dan melaporkan perbuatan Khalid kepada Khalifah Abu Bakar. Ia juga bersumpah tidak akan mau lagi berada dibawah komando Khalid yang telah membunuh seorang Muslim. Abu Bakar ternyata malah memuji Khalid dan kemenangan-kemenangannya dan tidak senang dengan sikap Abu Qatadah.

Kemarahan Umar Terhadap Perbuatan Khalid

Kecewa dengan reaksi Abu Bakar, lantas Abu Qatadah mengadu kepada Umar bin Khattab. Umar ternyata sependapat dengan Abu Qatadah bahwa Khalid mengampangkan hukum Allah. Umar segera menemui Abu Bakar, meminta agar Khalid dipecat. “Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya.” ujar Umar. “Ah Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah. Jangan mengatakan yang bukan-bukan tentang Khalid.” jawab Abu Bakar. Namun Umar bersikeras agar Khalid diberi sanksi. “Umar! Aku tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!” kata Abu Bakar kesal.

Abu Bakar akhirnya memanggil Khalid bin Walid ke Madinah untuk dimintai pertanggungjawaban. Tatkala Khalid tiba dari medan perang, Umar lantas menemuinya dan memarahinya “Anda musuh Allâh! Kau membunuh seorang Muslim dan kemudian menikahi istrinya. Demi Allâh, sungguh akan kurajam engkau dengan batu!”

Pertempuran Yamamah

Setelah insiden Malik, Abu Bakar mengirim Khalid untuk menghancurkan ancaman paling berbahaya bagi negara Islam yang baru lahir. Yakni Musailimah, pemimpin banu Hanifah yang mengaku sebagai nabi, dan sudah mengalahkan dua pasukan muslimin. Pada minggu ketiga bulan Desember 632, Khalid meraih kemenangan yang menentukan melawan Musailimah pada Pertempuran Yamamah. Musailimah tewas dalam pertempuran itu. Setelah peristiwa ini, hampir semua pemberontakan suku-suku berhasil ditumpas dalam Pertempuran Riddah yang berlangsung selama sekitar setahun.

Invasi Ke Wilayah Kekaisaran Persia

Setelah masalah pemberontakan selesai, dan penduduk arab kembali bersatu dalam panji Islam. Abu Bakar khawatir melihat wilayah Islam yang terjepit diantara 2 kekaisaran besar (Persia dan Romawi Bizantium) lantas memutuskan untuk menyerang Persia dan Romawi. Khalid kemudian dikirim untuk memerangi Kekaisaran Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan untuk menaklukkan provinsi terkaya kekaisaran Persia, wilayah sungai Efrat Mesopotamia yang lebih rendah, (Irak).

Khalid dengan cepat meraih empat pertempuran berturut-turut. Pertempuran Chains, berperang pada bulan April 633, Pertempuran Sungai, bertempur di minggu ketiga bulan April 633, Pertempuran Walaja, berperang Mei 633 dan Pertempuran Ullais, bertempur di pertengahan bulan Mei 633. Pada minggu terakhir bulan Mei 633, Al-Hira, ibu kota daerah Mesopotamia rendah, jatuh ke tangan Khalid. Penduduk Mesopotamia rendah (Irak) memilih berdamai dengan membayar jizyah (upeti) setiap tahun serta setuju untuk memberikan informasi intelijen bagi pasukan muslimin. Setelah beristirahat pasukannya, pada bulan Juni 633. Khalid mengepung Anbar yang meskipun mendapat perlawanan sengit berhasil direbut pada bulan Juli 633. Khalid kemudian bergerak ke arah selatan, dan menguasai Tamr Ein ul pada minggu terakhir bulan Juli, 633.

Sekarang, hampir semua Mesopotamia rendah, (wilayah utara Efrat), berada di bawah kendali Khalid. Sementara itu, Khalid menerima permintaan permohonan bantuan dari Ayaz bin Ghanam di wilayah Daumat-ul-Jandal. Agustus 633, Khalid pergi ke Daumat-ul-Jandal dan mengalahkan para pemberontak dalam Pertempuran Daumat-ul-Jandal, menguasai benteng kota. Dalam perjalanan kembali ke Mesopotamia, Khalid dikabarkan telah melakukan perjalanan rahasia ke Mekah untuk berpartisipasi dalam haji.

Setelah kembali dari Arab, Khalid menerima informasi intelijen bahwa adanya pasukan Persia dalam jumlah besar dibantu orang Kristen Arab. Pasukan besar ini terbagi dalam empat kamp-kamp yang berbeda di wilayah Efrat, di Hanafiz, Zumail, Saniyy dan terbesar berada di Muzayyah. Khalid memilih menghindari pertempuran langsung melawan mereka semua. Lantas memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan setiap kamp-kamp dalam serangan malam hari terpisah dari tiga sisi. Dia membagi pasukannya dalam tiga unit, dan menyerang pasukan Persia dalam serangan terkoordinasi dari tiga arah yang berbeda pada malam hari, dimulai dari Pertempuran Muzayyah, maka Pertempuran Saniyy, dan akhirnya Pertempuran Zumail pada bulan November 633 Masehi.

Perjuangan Khalid dalam Pembebasan Irak

Setelah serangkaian kemenangan, sampailah Khalid dan pasukannya di Firaz yaitu perbatasan Irak dengan Syam. Dalam pertempuran terakhir Khalid di wilayah Persia ini, bersama pasukannya Khalid menghadapi pasukan gabungan Romawi, Persia dan Kristen Arab dalam pertempuran yang dikenal sebagai Pertempuran Firaz. Ketika Khalid sedang dalam perjalanan untuk menyerang Qadissiyah, sebuah benteng kunci menuju Ctesiphon, ia menerima surat dari Abu Bakar yang memerintahkannya untuk menuju Romawi Bizantium di Suriah dengan maksud membebaskan Syam.

Invasi Ke Wilayah Timur Kekaisaran Romawi Bizantium

Pasukan Muslimin mendatangi Syam dari 4 arah berbeda

Setelah sukses menaklukan provinsi Persia – Sassanid Irak, Khalifah Abu Bakar mengirim sebuah ekspedisi untuk menyerang Levant (Romawi Suriah). Invasi ini akan dilaksanakan oleh empat pasukan dari empat arah berbeda. Bizantium menanggapi ancaman ini dengan menempatkan pasukan-pasukannya saling berhadapan dengan masing-masing pasukan muslimin. Bizantium juga memusatkan pasukan mereka di Ajnadyn (suatu tempat di Palestina, mungkin al-Lajjun). Langkah pasukan muslim tertahan di wilayah perbatasan, disebabkan kekuatan besar di pihak Romawi Bizantium. Tentara muslimin tidak lagi bebas untuk bergerak ke Suriah pusat atau utara. Kekuatan pasukan muslimin tampaknya terlalu kecil melawan ancaman pasukan Bizantium dalam jumlah besar, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, komandan Muslim bagian depan Suriah, meminta bala bantuan dari Khalifah. Abu Bakar menanggapinya dengan mengirimkan bala bantuan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, dari Irak. Khalid yang ingin melanjutkan perjuangannya membebaskan Persia merasa kesal. Khalid curiga bahwa perintah Khalifah karena saran Umar bin Khattab. “Ini pasti perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah – yakni Umar bin Khattab – dia dengki kepadaku karena aku yang membebaskan Irak.” kata Khalid setelah membaca surat perintah Khalifah.

Ada dua rute menuju Suriah dari Irak, salah satunya melalui Daumat-ul-Jandal (sekarang dikenal sebagai Skaka) dan yang lainnya adalah melalui Mesopotamia melewati Ar-Raqqah. Karena pasukan Islam di Suriah yang membutuhkan bantuan secepatnya, Khalid menghindari rute konvensional ke Suriah melalui Daumat-ul-Jandal karena jauh dan akan memerlukan beberapa minggu untuk mencapai Suriah. Dia juga menghindari rute Mesopotamia karena kehadiran pasukan Romawi di Suriah utara dan Mesopotamia. Berperang dengan mereka pada saat pasukan muslimin sedang terkepung di Suriah, juga berarti akan terjadi pertempuran di dua front. Khalid memilih rute yang tidak terlalu jauh ke Suriah, jalur yang tidak biasa dilalui, yakni Gurun Suriah. Ia berjalan bersama pasukannya melintasi gurun, di mana secara tradisi diperkirakan prajuritnya akan berjalan selama dua hari tanpa setetes minum, sebelum mencapai sumber air di oasis. Khalid memecahkan masalah kekurangan air dengan menggunakan metode suku Badui. Unta yang diberi minum air yang banyak, setelah unta tersebut sebelumnya dibuat sedemikian haus, sehingga akan mendorong unta untuk minum banyak air pada satu waktu. Beberapa ekor unta kemudian juga dibedah perutnya guna diambil kantong airnya untuk memberi minum kuda-kuda. Cara ini terbukti efektif bagi pasukan muslim saat melintasi gurun.

Rute Khalid menuju Suriah dan membebaskan Syam

Khalid memasuki Suriah pada bulan Juni 634 dan dengan cepat merebut benteng perbatasan dari Sawa, Arak, Palmyra, al-Sukhnah (Qaryatayn dan Hawarin direbut setelah Pertempuran Qarteen dan Pertempuran Hawarin). Setelah menundukkan kota-kota ini, Khalid bergerak menuju Bosra, sebuah kota dekat perbatasan Suriah-Arab dan ibukota kerajaan Ghassanid Arab, pengikut dari Kekaisaran Romawi Timur. Dia menuju arah Damaskus melewati gunung yang kini dikenal sebagai “Sanita-al-Uqab” (“jalan tembus Uqab”) dinamai demikian karena pasukan Khalid mengibarkan al-Uqab, bendera Rasulullah. Dalam perjalanan di Maraj-al-Rahat, Khalid melewati tentara Ghassanid Kristen Arab dan terjadi pertempuran singkat yang dikenal sebagai Pertempuran Marj al-Rahit.

Dengan kabar kedatangan Khalid, Abu Ubaidah memerintahkan Syurahbil bin Hasanah, salah satu dari empat komandan pasukan muslimin, untuk menyerang kota Bosra. Pasukan Syurahbil bin Hasanah yang kalah jumlah, ditertawakan oleh pasukan Romawi Byzantium dan Kristen Arab yang berpikir akan mudah mengalahkannya, namun tanpa mereka duga pasukan Khalid tiba dari gurun dan menyerang sisi belakang pasukan Romawi Bizantium, menyelamatkan Shurhabil dari kekalahan. Pasukan musuh lantas mundur ke benteng kota. Abu Ubaidah bergabung bersama Khalid bin Walid di Bosra. Kemudian Khalid, sesuai instruksi dari khalifah, mengambil alih komando tertinggi. Benteng Bosra menyerah pada pertengahan Juli 634, efektif mengakhiri dinasti Ghassanid. Setelah merebut Bosra, Khalid memerintahkan semua pasukan untuk bergabung dengannya di Ajnadayn, di mana mereka berjuang dalam pertempuran menentukan melawan Bizantium tanggal 30 Juli 634. Sejarawan modern menganggap pertempuran ini adalah pertempuran paling menentukan dalam mengakhiri kekuasaan Bizantium di Suriah.

Akibat kekalahan di Pertempuran Ajnadayn, wilayah kiri Suriah rentan terhadap tentara muslim. Sekarang, Khalid bin Walid memutuskan untuk merebut Damaskus, benteng Bizantium. Di Damaskus, Thomas, anak angkat Heraklius Kaisar Byzantium, yang bertanggung jawab atas pertahanan kota, mendapat informasi intelijen, bahwa pasukan Khalid bergerak menuju Damaskus, ia mempersiapkan pertahanan kota. Dia menulis kepada Kaisar Heraklius, yang pada saat itu di Emesa, untuk mengirim bala bantuan. Selain itu, Thomas, dalam rangka untuk menunda atau menghentikan pergerakan pasukan Khalid mengirimkan pasukannya untuk bergerak maju. Dua pasukannya dikirim. Yang pertama di Yaqusa pada pertengahan bulan Agustus dan yang lainnya di Maraj as-Saffer pada tanggal 19 Agustus. Sementara itu, sebelum bala bantuan Heraklius mencapai Damaskus, Khalid mengisolasi Damaskus dengan menempatkan detasemen selatan di jalur Palestina dan di utara di jalur Damaskus dengan Emesa, dan beberapa detasemen lain yang lebih kecil pada rute menuju Damaskus. Bala bantuan Heraklius dicegat dan diserang oleh pasukan Khalid di Pertempuran Sanita-al-Uqab, 30 km dari Damaskus.

Khalid memimpin serangan dan menaklukkan Damaskus pada tanggal 18 September 634 setelah pengepungan selama 30 hari. Menurut beberapa sumber, pengepungan ini berlangsung selama sekitar empat atau enam bulan. Kaisar Heraklius yang menerima berita jatuhnya Damaskus, berangkat ke Antiokhia dari Emesa. Kavaleri muslimin di bawah Khalid menyerang pasukan Bizantium dari Damaskus yang juga menuju ke Antiokhia, menyusul mereka menggunakan jalan pintas yang tidak diketahui, dalam Pertempuran Maraj-al-Debaj, 150 kilometer sebelah utara Damaskus.

Abu Bakar meninggal selama pengepungan Damaskus dan Umar menjadi khalifah baru. Khalid bin Walid kemudian dipecat sebagai panglima perang pasukan muslimin oleh Umar bin Khattab. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai panglima baru dalam pasukan Islam di Suriah. Abu Ubaidah mendapat surat pengangkatan dan pemberhentian Khalid selama pengepungan, tetapi ia menunda pengumuman sampai kota itu ditaklukkan.

Era Khalifah Umar Bin Khattab (634–642)

Pada tanggal 22 Agustus 634, Abu Bakar meninggal, dan Umar bin Khattab menggantikannya sebagai khalifah. Langkah pertama Umar adalah membebastugaskan Khalid dari komando tertinggi pasukan muslimin dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai komandan baru pasukan muslimin. Hubungan antara Khalid dengan Umar telah menegang sejak insiden Malik bin Nuwairah. Akibatnya terjadi krisis kepercayaan antara keduanya. Sosok Khalid yang tak terkalahkan, membuat Umar khawatir seandainya kaum muslimin melupakan fakta bahwa semua kemenangan ini karena pertolongan Allah.

Umar menjelaskan alasannya memecat Khalid mengatakan: “Saya tidak memecat Khalid bin Walid karena benci atau pengkhianatan tetapi karena semua orang sudah terpesona, saya khawatir orang hanya percaya kepadanya dan hanya akan berkorban untuknya. Maka saya ingin mereka tahu bahwa Allah Maha Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah.”

Setelah dipecat sebagai panglima perang, Khalid masih melanjutkan perjuangan pembebasan Syam dibawah pimpinan Abu Ubaidah. Abu Ubaidah yang seorang pengagum Khalid, memberinya komando kavaleri dan menjadikannya sebagai penasihat militer.

Peta rute Khalid bin Walid dalam Pembebasan Suriah utara

Peta rute Khalid bin Walid dalam ekspedisi ke Armenia dan Anatolia

Aksi heroik Khalid sangat membantu Abu Ubaidah dalam Penaklukan Levant Tengah, Pertempuran Emesa, Pertempuran Damaskus bagian kedua, Pertempuran Yarmuk, Penaklukan Yerusalem, Penaklukan Suriah Utara dan Perjalanan ke Armenia dan Anatolia.

Pemecatan Khalid bin Walid Dari Kemiliteran

Khalid bin Walid, sekarang, berada di puncak karir, ia terkenal dan dicintai oleh anak buahnya, bagi kaum muslimin dia adalah seorang pahlawan nasional, publik mengenalnya sebagai Saifullah – “Pedang Allah”. Ketenarannya tampak membuat risau Khalifah Umar, yang khawatir bila Khalid dibiarkan terus semaunya suatu hari ia akan mencapai puncak kesombongan dan kezalimannya, tak lagi peduli dengan perintah Khalifah. Karena itu Umar membutuhkan alasan untuk mengambil tindakan hukum terhadap Khalid. Dia menemukan satu alasan seperti ketika Khalid, selama tinggal di Amid, Armenia, mandi dengan dengan zat tertentu yang mengandung khamr. Umar dalam suratnya kepada Khalid menanyakan perihal ini. Khalid menjawab, “Kami sudah menolaknya tetapi bahan pembersih tak ada selain khamr.”

Khalid juga diduga membayar Asy’as bin Qais, seorang penyair dan pahlawan perang Persia untuk membacakan puisi yang memujinya dengan bayaran sebesar 10.000 dirham yang diduga menggunakan kas negara. Karena itu Umar menuduhnya menyalahgunakan keuangan negara. Umar kemudian menulis surat kepada Abu Ubaidah supaya memanggil Khalid, dan mengikatnya dengan serbannya serta melepaskan qalansuwah-nya (topi kebesaran) sampai terungkap pemberiannya kepada Asy’as bin Qais. Dari harta sendiri atau dari harta rampasan perang. Kalau dia mengatakan itu adalah harta rampasan perang, maka itu adalah bukti pengkhianatannya. Dan bila dia mengatakan itu dari hartanya sendiri maka itu berarti pemborosan. Bagaimanapun juga ia mendapat perintah memecat Khalid bin Walid.

Abu Ubaidah yang mengagumi Khalid dan menghormati Khalifah Umar pun menjadi kebingungan. Bagaimanapun juga, Khalid akhirnya dipanggilnya namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kurir Umar (yakni muadzin Nabi, Bilal). Dihadapan pasukannya Khalid naik ke atas mimbar, lalu Bilal pun menanyakan asal muasal hadiah pemberian kepada Asy’as bin Qais. Khalid menyatakan bahwa itu semua dari hartanya sendiri. Kejadian ini membuat Khalid marah dan merasa dipermalukan.

Kemudian Khalid pun mengunjungi Abu Ubaidah yang lantas memberitahunya bahwa dirinya dipecat atas perintah Khalifah Umar bin Khattab, dan diminta kembali ke Medinah. Di Medinah, dalam keadaan marah Khalid menemui Umar dan menyatakan protes terhadap perlakuan yang tidak adil kepadanya. Umar lalu menenangkannya dengan berkata, “Apa yang telah anda telah lakukan dan tidak ada seorang pun yang melakukan seperti yang anda lakukan. Tapi ini bukan tentang orang yang melakukan, Allah-lah yang melakukan….”

Kematian Khalid bin Walid

Kurang dari empat tahun setelah pemecatannya, Khalid meninggal dan dikuburkan di 642 di Emesa, di mana ia tinggal sejak pemecatannya dari kemilteran. Makamnya sekarang merupakan bagian dari sebuah masjid bernama Masjid Khalid bin al-Walid. Nisan Khalid menggambarkan daftar lebih dari 50 pertempuran yang ia menangi tanpa kekalahan (tidak termasuk pertempuran kecil).

Masjid Khalid bin al-Walid

Dikisahkan bahwa ia ingin mati sebagai martir di medan pertempuran, dan sangat kecewa ketika menyadari dirinya akan mati di tempat tidur. Khalid mengungkapkan rasa sedihnya dengan berkata,
“Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur.”

Keluarga Khalid bin Walid

Ayah Khalid bernama Walid bin al-Mughira dan sang ibu bernama Lubabah as-Saghirah. Walid dikabarkan memiliki banyak istri dan anak, namun hanya beberapa saja yang tercatat dalam sejarah.

Putra Walid bin al-Mughira: (Saudara lelaki Khalid):

Hisham bin Walid
Walid bin Walid
Ammarah bin Walid
Abdul Shams bin Walid

Putri Walid bin al-Mughira: (Saudara perempuan Khalid):

Faktah binti Walid
Fatimah binti Walid
Najiyah binti al-Walid (masih diperselisihkan)

Tidak diketahui berapa banyak anak yang dimiliki Khalid, namun tiga putra dan seorang putri tercatat dalam sejarah.

Sulaiman bin Khalid
Abdulrehman bin Khalid
Muhajir bin Khalid


Sulaiman bin Khalid (putra tertua), tewas dalam penaklukan Mesir, Muhajir bin Khalid meninggal dalam Pertempuran Siffin saat berperang di sisi Khalifah Ali dan Abdulrehman bin Khalid menjadi Gubernur Emesa saat pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan serta berpartisipasi dalam Pertempuran Siffin sebagai salah satu jenderal dari Muawiyah I, ia juga bagian dari pasukan Umayyah yang mengepung Konstantinopel pada tahun 664. Abdulreman kemudian akan ditunjuk sebagai penerus dari Khalifah Muawiyah, tetapi menurut beberapa narasi (Kemungkinan besar dari Sumber Syiah) ia diracun oleh Muawiyah, karena Muawiyah ingin membuat anaknya Yazid I menjadi penggantinya. Garis keturunan laki-laki dari Khalid diyakini telah berakhir dengan cucunya, Khalid bin Abdur-Rahman bin Khalid.

Ketika Khalid bin Walid masuk Islam, Rasulullah sangat bahagia karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat membela panji-panji Islam.

Adanya Khalid di barisan Kaum Muslimin meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan Khalid diangkat menjadi panglima perang dan menunjukkan hasil kemenangan.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid ditunjuk menjadi panglima yang memimpin sebanyak 46.000 pasukan, Khalid tak gentar menghadapi tentara Byzantium dengan jumlah pasukan mencapai 240.000.

Uniknya, Khalid malah khawatir tidak bisa mengendalikan hatinya karena pengangkatannya dalam peperangan yang dikenal dengan Perang Yarmuk itu.

Dalam Perang Yarmuk, jumlah pasukan Islam yang dipimpin Khalid bukan saja tidak seimbang dengan musuh. Khalid memimpin pasukan  tanpa persenjataan yang lengkap, tidak terlatih plus kualitas yang rendah.

Ini berbeda dengan angkatan perang Romawi yang bersenjata lengkap dan baik, terlatih dan jumlahnya lebih banyak. Hanya, bukan Khalid namanya jika tidak mempunyai strategi perang.

Khalid membagi pasukan Islam menjadi 40 kontingen dari 46.000 pasukan Islam untuk memberi kesan seolah-olah pasukan Islam terkesan lebih besar dari musuh.

Strategi Khalid ternyata sangat ampuh. Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab utara dan selatan ialah dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian; depan, belakang, kanan, kiri dan tengah.

Heraklius telah mengikat tentaranya dengan besi antara satu sama lain. Ini dilakukan agar mereka jangan sampai lari dari peperangan.

Kegigihan Khalid dalam memimpin pasukannya membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu.

Perang yang dipimpin Khalid lainnya adalah perang Riddah (perang melawan orang-orang murtad). Perang  ni terjadi karena suku-suku bangsa Arab tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Abu Bakar di Madinah. Mereka menganggap, perjanjian yang dibuat dengan Rasulullah batal setelah Rasulullah wafat.

Mereka pun menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan. Maka Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk menjadi jenderal pasukan perang Islam untuk melawan kaum murtad tersebut. Khalid berhasil memberikan kemenangan.

Masih pada pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hirah pada 634 M. kemudian Khalid bin Walid diperintahkan oleh Abu Bakar meninggalkan Irak untuk membantu pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid.

Diantara peperangan, terselip kisah  menarik dari Khalid bin Walid.  Meski dikenal sebagai ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya, Khalid bukan orang sombong. Dia pun berlapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas.

Hal ini ditunjukkannya saat Khalifah Umar bin Khathab mencopot sementara waktu kepemimpinan Khalid bin Walid tanpa ada kesalahan apa pun. Menariknya, ia menuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses, kepemimpinan pun ia serahkan kepada penggantinya, Abu Ubaidah bin Jarrah.

Khalid tidak mempunyai obsesi dengan ketokohannya. Dia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai sebuah perjuangan dan semata-mata mengharapkan ridha Sang Maha Pencipta. Itulah yang ia katakan menanggapi pergantiannya, "Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!"

Jadi, di mana pun posisinya, selama masih bisa ikut berperang, stamina Khalid tetap prima. Itulah nilai ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasulullah seperti Khalid bin Walid.


Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil oleh Sang Khaliq. Umar bin Khathab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jabatan Khalid sebelum akhirnya "Si Pedang Allah" menempati posisi khusus di sisi Allah SWT.

Dua orang ahli kitab yang berasal dari Negeri Syam sedang berjalan-jalan di Kota Madinah. Pada saat itu, Rasullah Saw. sudah hijrah dan tinggal di Madinah. Kedatangan dua ahli kitab itu ke Madinah karena rasa penasaran mereka terhadap isi alkitab yang mereka baca. Dalam alkitab yang mereka pelajari disebutkan bahwa di kota itu telah datang seorang nabi akhir zaman. Tentu saja, informasi itu membuat keduanya penasaran dan ingin segera membuktikannya.
Berbekal ciri-ciri yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad Saw. yang disebut-sebut sebagai nabi akhir zaman, mereka berkeliling kota madinah. Mereka tidak segan menanyakan keberadaan Nabi Muhammad Saw. kepada setiap orang yang dijumpainya. Mereka pun memperhatikan setiap orang yang berpapasan dengan mereka. siapa tahu salah seorang diantara mereka adalah Nabi Muhammad Saw.
Setelah lama berkeliling dan bertanya kepada setiap orang, mereka pun bertemu dengan Rasullah Saw. dengan pandangan menyelidik, ditatapnya Rasullah Saw. dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
"Apakah engkau yang bernama Muhammad?" tanya salah seorang ahli kitab itu.
Rasullah Saw. mengangguk dan mengiyakan.
"Apakah engkau benar-benar yang bernama Muhammad?" tanya ahli kitab lainnya seolah belum percaya dengan orang yang berada di hadapannya.
Rasullah Saw. pun kembali menjawab dan mengiyakan.
Kesempatan itu pun dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kedua ahli kitab itu untuk menanyakan hal-hal yang ingin mereka ketahui.
"Wahai Muhammad, kami ingin mengetahui sesuatu tentang kalimat syahadat. Apabila engkau bisa menjelaskannya dengan baik dan hati kami tergugah karenanya, kami akan beriman dan mengikuti semua ajakan dan perintah engkau."
"Apa sebenarnya yang ingin kalian ketahui?" tanya Rasullah Saw.
"Kesaksian apakah yang paling hebat yang terdapat pada Al-Quran?" tanya mereka.
Ahli-ahli kitab bukanlah orang yang sembarangan. Mereka sudah mempelajari banyak kitab suci yang diturunkan sebelum Al-Quran, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.
Pada saat itulah, Allah menurunkan QS Al-Imran [3] : 18 yang berbunyi, " Allah memastikan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia. Dan para malaikat dan orang-orang yang berilmu mengakui keberadaanya. Allah menegakkan keadilan. Tidak ada Tuhan lain selain Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
Melalui ayat itulah para ahli kitab itu disadarkan atas keagungan dan kebesaran Allah Swt. Firman Allah Swt. yang disampaikan oleh Rasullah Saw. begitu menyentuh rasa keimanan mereka. Meskipun singkat, mereka merasakan kebenaran atas ayat tersebut. Luluhlah hari mereka sehingga tanpa keraguan mereka mengucapkan kalimat syahadat sebagai pengakuan atas keesaan Allah. dan penunjukan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul-Nya.
Seluruh nabi yang dipilih oleh Allah sama-sama menyerukan kalimat syahadat untuk mengajak seluruh umatnya mempercayai keesaan Allah Swt. dan meyakini bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah.

Pages