Khalid bin Walid, jenderal perang Islam berjuluk “Saifullah
Al-Maslul (pedang Allah yang terhunus)”. Reputasinya sebagai seorang jenderal
ditakuti dan dikagumi lawan-lawannya. Namun selain kehebatannya sebagai seorang
panglima perang, kaum muslimin juga banyak membicarakan hubungannya yang buruk
dengan Umar bin Khattab. Krisis kepercayaan dengan sang sepupu berakhir dengan
diberhentikannya Khalid Bin Walid dari kemiliteran, hal yang membuat hatinya
menjadi galau.
“Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid,
tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang
atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati.
Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur.” – Khalid bin Walid menjelang
kematiannya.
Inilah Biografi Khalid Bin Walid – Pedang Allah
Khalid bin Walid (592–642), lahir sekitar tahun 592, ayahnya
bernama Walid bin al-Mughira seorang kepala suku dari banu Makhzum (bangsa
Quraisy). Di saat itu banu Makhzum bertanggung jawab terhadap masalah perang,
mengurus persenjataan dan tenaga tempur. Sesaat setelah dilahirkan, Khalid
dikirim ke suku Badui di gurun di mana udaranya masih bersih, segar dan belum
terpolusi. di usia lima atau 6 tahun, ia kembali ke Mekah. Di masa kanak-kanak
tersebut Khalid juga pernah terserang cacar ringan yang mengakibatkan timbulnya
bekas cacar (bopeng) dipipi kirinya.
Khalid bin Walid dan Umar bin Khattab adalah saudara sepupu
dan memiliki kemiripan wajah. Keduanya sangat tinggi, Khalid memiliki tubuh
yang kuat, bahu yang lebar, badan yang kekar juga berjenggot penuh dan tebal di
wajahnya.
Khalid seorang juara gulat, suatu ketika ia pernah adu gulat
dengan Umar bin Khattab. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Ini mungkin awal
dari perseteruan dua saudara sepupu tersebut. Khalid juga jago berkuda, dimasa
kecil ia juga berlatih menggunakan senjata seperti panah, tombak, dan pedang.
Tombak adalah senjata favoritnya.
Di Era Nabi Muhammad saw (610–632)
Pertempuran Melawan Kaum Muslimin
Tidak banyak diketahui kisah Khalid bin Walid di masa-masa
awal nabi Muhammad saw. Ayah Khalid dikenal memusuhi Islam. Setelah periode
hijrah dari Mekah ke Madinah, maka pertempuran antara kaum muslimin dgn kaum
kafir quraisy pun dimulai. Khalid bin Walid tidak turut serta dalam perang
Badar, peperangan pertama antara kaum muslimin dengan kafir quraisy. Dalam
perang ini saudara Khalid, Walid bin Walid tertangkap dan ditawan. Kemudian
Khalid bersama sang kakak pergi ke Madinah untuk menembus Walid. Namun segera setelah
ditembus, dalam perjalanan ke Mekah, Walid melarikan diri, kembali ke Madinah
dan masuk Islam.
Khalid menyerang balik pasukan muslimin
Kepemimpinan Khalid berperan besar untuk memastikan
kemenangan kaum kafir quraisy dalam perang Uhud (625 M). Tahun 627 M terjadi
Pertempuran Khandaq, ini merupakan peperangan terakhir Khalid dengan kaum
Muslimin.
Masuk Islam
Saat perjanjian perdamaian (Perjanjian Hudaibiyyah, Maret
628 M) berlangsung antara kaum muslimin dan kafir quraisy, sejarah mencatat
bahwa nabi Muhammad berkata kepada Walid (saudara Khalid), “Seseorang seperti
Khalid, pasti akan tertarik pada Islam”. Walid kemudian mengirim surat kepada
Khalid, membujuknya masuk Islam. Khalid yang sebenarnya tidak terlalu
mengidolakan berhala-berhala Ka’bah kemudian mengajak bicara Ikrimah bin
Abu-Jahal – teman semasa kecilnya – yang menentang niatnya untuk masuk Islam.
Khalid kemudian diancam oleh Abu Sufyan yang hendak
menyerangnya dengan penuh amarah, namun dihalangi oleh Ikrimah. “Sabar, Wahai
Abu Sufyan, kemarahan Anda mungkin juga membawa saya untuk bergabung dengan
Muhammad. Khalid bebas untuk mengikuti agama apa pun ia pilih”. Khalid sendiri
membalas Abu Sufyan dengan menjawab bernada keras, “Demi Allah orang suka atau
tidak, sungguh dia benar.”
Bulan May 629 M, Khalid menuju Madinah dan bertemu dengan
Amru bin Ash dan Uthman bin Talha yang juga menuju Madinah untuk masuk Islam.
Mereka tiba di Madinah pada 31 May 629 serta segera menuju rumah nabi Muhammad
saw. Khalid kemudian diterima oleh sang kakak Walid bin Walid yang lebih dahulu
masuk Islam.
Pertempuran Bersama Kaum Muslimin Di Era Nabi Muhammad saw
Tiga bulan setelah kedatangan Khalid di Madinah, nabi
Muhammad saw mengirim utusan kepada penguasa Ghassanid Suriah, pengikut
kekaisaran Romawi Bizantium, dengan surat mengundang dia untuk masuk Islam.
Ketika melewati Mu’tah, utusan ini dicegat dan dibunuh oleh seorang kepala suku
lokal Ghassanid dengan nama Shurahbil bin Amr. Secara tradisi utusan diplomatik
memiliki kekebalan dan tidak boleh dibunuh. Kabar ini membuat Madinah marah.
Sebuah ekspedisi segera disiapkan untuk mengambil tindakan
hukuman terhadap Ghassanid. Rasulullah lantas menunjuk Zaid bin Haritsah
sebagai panglima perang, bila Zaid gugur maka Ja’far bin Abi Thalib yang
menggantikannya, dan bila Ja’far gugur maka Abdullah bin Rawahah akan
menggantikannya. Bila ketiga panglima perang tersebut gugur maka panglima
perang selanjutnya dipilih oleh pasukan muslimin.
Ketiga panglima perang tersebut pun akhirnya gugur syahid.
Pasukan muslimin pun kemudian memilih Khalid Bin Walid sebagai panglima perang.
Khalid kemudian mengatur strategi bagaimana 3000 pasukan muslimin selamat dari
pembantaian 100.000 (200.000) pasukan gabungan Romawi Bizantium dan Ghassanid
Arab dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Mu’tah.
Sepanjang malam Khalid mengatur pasukannya menjadi beberapa
pasukan dibelakang pasukan utama. Pagi harinya menjelang pertempuran pasukan
tersebut bergerak maju seakan-akan mereka adalah pasukan bala bantuan. Romawi
pun merasa gentar mengira pasukan muslimin mendapatkan pasukan tambahan dalam
jumlah besar.
Saat itu sepanjang hari Khalid entah bagaimana tetap
bertahan dan tidak menyerang. Malam harinya Khalid memerintahkan pasukannya
untuk mundur dan kembali ke Madinah. Namun Romawi tidak mengejar karena
khawatir ini merupakan jebakan.
Dalam Pertempuran Mu’tah ini Khalid kehilangan sembilan
pedangnya. Dan setelah pertempuran ini, Khalid diberi gelar Pedang Allah oleh
Rasulullah saw.
Pertempuran Selanjutnya
Setahun kemudian pada 630 M kaum muslimin maju dari Madinah
untuk membebaskan Mekah. Dalam Pembebasan Mekah ini, Khalid memimpin salah satu
dari empat pasukan muslim yang bergerak dari empat arah yang berbeda mengepung
Mekah. Dan hanya pasukan Khalid yang sempat mendapat perlawanan dari pasukan
kavaleri quraisy yang menolak menyerah. Di tahun itu juga Khalid terlibat dalam
Pertempuran Hunain dan pengepungan Tha’if.
Khalid juga terlibat dalam Pertempuran Tabuk yang dipimpin
langsung nabi Muhammad saw. Khalid lalu dikirim ke wilayah Daumat-ul-Jandal
dimana ia berjuang dan berhasil menangkap pangeran arab Daumat-ul-Jandal,
memaksa Daumat-ul-Jandal untuk menyerah.
Pada 631 M Khalid bin Walid turut serta berpartisipasi dalam
haji perpisahan Muhammad. Dalam peristiwa ini, ia mengumpulkan beberapa rambut
Muhammad, sebagai peninggalan suci, yang akan menginspirasinya memenangkan
pertempuran di masa mendatang.
Pertempuran Sebagai Panglima Perang Islam
Pada Januari 630 M, tahun ke 8 H, Khalid dikirim Rasullullah
saw untuk menghancurkan berhala (jin ) Uzza. Seorang perempuan yang diklaim
sebagai bentuk asli Uzza sukses dibunuh oleh Khalid.
Khalid juga dikirim oleh Rasulullah saw untuk mengajak banu
Jadhima masuk Islam. namun Khalid melakukan tindakan kontroversial. Banu
Jadhima yang sudah masuk Islam, namun Khalid menahan mereka semua dan
mengeksekusi mati sebagian disebabkan permusuhan di masa lalu.
Rasulullah saw yang mendengar kabar ini lalu berdoa,
“Allahumma ya Allah! aku bermohon kepada-Mu lepas tangan dari apa yang
diperbuat oleh Khalid bin Walid itu.” Rasul kemudian mengutus Ali bin Abi
Thalib untuk mengurus diat (ganti rugi) terhadap banu Jadhima.
Era Khalifah Abu Bakar (632–634)
Pertempuran Riddah
Setelah kematian nabi Muhammad saw, banyak suku arab yang
memberontak dan menolak kekuasaan Madinah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan
untuk mengatasi pemberontakan dan mereka yang murtad. Khalid adalah salah satu
penasehat utama Abu Bakar dan arsitek perencanaan strategis Pertempuran Riddah.
Dia diberi komando atas brigade muslimin terkuat (terdiri dari pejuang pilihan
muhajirin dan anshar) dan dikirim ke pusat arab, daerah yang paling strategis
dan sensitif di mana suku pemberontak paling kuat tinggal. Daerah ini paling
dekat dengan kubu muslim Madinah dan merupakan ancaman terbesar ke kota.
Pertama-tama, Khalid berangkat ke suku-suku pemberontak Tayy dan Jalida, dimana
Adi bin Hatim – seorang sahabat terkemuka Nabi Muhammad, dan seorang kepala
suku dari suku Tayy – dikirim sebagai penengah. Kedua suku kemudian setuju
kembali bergabung ke kekhalifahan.
Perjuangan Khalid dalam Pertempuran Riddah
Pada pertengahan September 632 M, Khalid mengalahkan
Tulaiha, seorang pemimpin pemberontak yang mengaku sebagai nabi untuk menarik
dukungan bagi dirinya sendiri. Kekuasaan Tulaiha hancur setelah pengikutnya
yang tersisa dikalahkan di Pertempuran Ghamra. Khalid berikutnya bergerak
menuju Naqra dan mengalahkan pemberontak suku Bani Salim dalam Pertempuran
Naqra. Wilayah ini berhasil diamankan setelah Pertempuran Zafar bulan Oktober
632 dengan kalahnya Salma seorang perempuan yang memimpin sisa-sisa pembangkang
murtad.
Kontroversi Pembunuhan Malik bin Nuwairah
Setelah wilayah sekitar Madinah, ibukota Islam, direbut
kembali, Khalid memasuki Nejd, wilayah perkampungan dari suku banu Tamim.
Banyak dari anggota suku banu Tamim yang bergegas untuk mengunjungi Khalid dan
menyatakan tunduk kepada kekuasaan kekhalifahan. Tetapi suku banu Yarbu, di
bawah pimpinan Malik bin Nuwairah, menolak menyerah. Malik kemudian memilih
menghindari kontak langsung dengan pasukan Khalid dan memerintahkan para
pengikutnya untuk menyebar, dan ia dan keluarganya melarikan diri melintasi
padang pasir.
Malik kemudian tertangkap oleh pasukan Khalid dan diserahkan
kepada Khalid. Lalu diminta pertanggungjawaban mengenai “kejahatannya”. Malik
kemudian mengatakan, “sahabat anda mengatakan ini, sahabat anda mengatakan
bahwa…” merujuk kepada Abu Bakar, Khalid menyatakan bahwa Malik murtad dan
pemberontak, lalu memerintahkan agar dia dieksekusi. Setelah eksekusi Malik,
Khalid menikahi istrinya yang sangat cantik, Layla bint al-Minhal (Umm Tamim)
di malam harinya. Kasus Malik bin Nuwairah ini memang penuh kontroversi karena
Malik dan pengikutnya menyakini bahwa mereka masih muslim.
Abu Qatadah al-Anshari, seorang sahabat Muhammad, yang
mendampingi Khalid sangat terkejut dengan perbuatan Khalid meng-eksekusi mati
Malik dan menikahi istrinya. Dengan keadaan marah, ia segera kembali ke
Madinah, dan melaporkan perbuatan Khalid kepada Khalifah Abu Bakar. Ia juga
bersumpah tidak akan mau lagi berada dibawah komando Khalid yang telah membunuh
seorang Muslim. Abu Bakar ternyata malah memuji Khalid dan
kemenangan-kemenangannya dan tidak senang dengan sikap Abu Qatadah.
Kemarahan Umar Terhadap Perbuatan Khalid
Kecewa dengan reaksi Abu Bakar, lantas Abu Qatadah mengadu
kepada Umar bin Khattab. Umar ternyata sependapat dengan Abu Qatadah bahwa
Khalid mengampangkan hukum Allah. Umar segera menemui Abu Bakar, meminta agar
Khalid dipecat. “Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada
sanksinya.” ujar Umar. “Ah Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah.
Jangan mengatakan yang bukan-bukan tentang Khalid.” jawab Abu Bakar. Namun Umar
bersikeras agar Khalid diberi sanksi. “Umar! Aku tak akan menyarungkan pedang
yang oleh Allah sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!” kata Abu Bakar
kesal.
Abu Bakar akhirnya memanggil Khalid bin Walid ke Madinah
untuk dimintai pertanggungjawaban. Tatkala Khalid tiba dari medan perang, Umar
lantas menemuinya dan memarahinya “Anda musuh Allâh! Kau membunuh seorang
Muslim dan kemudian menikahi istrinya. Demi Allâh, sungguh akan kurajam engkau
dengan batu!”
Pertempuran Yamamah
Setelah insiden Malik, Abu Bakar mengirim Khalid untuk
menghancurkan ancaman paling berbahaya bagi negara Islam yang baru lahir. Yakni
Musailimah, pemimpin banu Hanifah yang mengaku sebagai nabi, dan sudah
mengalahkan dua pasukan muslimin. Pada minggu ketiga bulan Desember 632, Khalid
meraih kemenangan yang menentukan melawan Musailimah pada Pertempuran Yamamah.
Musailimah tewas dalam pertempuran itu. Setelah peristiwa ini, hampir semua
pemberontakan suku-suku berhasil ditumpas dalam Pertempuran Riddah yang
berlangsung selama sekitar setahun.
Invasi Ke Wilayah Kekaisaran Persia
Setelah masalah pemberontakan selesai, dan penduduk arab
kembali bersatu dalam panji Islam. Abu Bakar khawatir melihat wilayah Islam
yang terjepit diantara 2 kekaisaran besar (Persia dan Romawi Bizantium) lantas
memutuskan untuk menyerang Persia dan Romawi. Khalid kemudian dikirim untuk
memerangi Kekaisaran Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan
untuk menaklukkan provinsi terkaya kekaisaran Persia, wilayah sungai Efrat
Mesopotamia yang lebih rendah, (Irak).
Khalid dengan cepat meraih empat pertempuran berturut-turut.
Pertempuran Chains, berperang pada bulan April 633, Pertempuran Sungai,
bertempur di minggu ketiga bulan April 633, Pertempuran Walaja, berperang Mei
633 dan Pertempuran Ullais, bertempur di pertengahan bulan Mei 633. Pada minggu
terakhir bulan Mei 633, Al-Hira, ibu kota daerah Mesopotamia rendah, jatuh ke
tangan Khalid. Penduduk Mesopotamia rendah (Irak) memilih berdamai dengan
membayar jizyah (upeti) setiap tahun serta setuju untuk memberikan informasi
intelijen bagi pasukan muslimin. Setelah beristirahat pasukannya, pada bulan
Juni 633. Khalid mengepung Anbar yang meskipun mendapat perlawanan sengit
berhasil direbut pada bulan Juli 633. Khalid kemudian bergerak ke arah selatan,
dan menguasai Tamr Ein ul pada minggu terakhir bulan Juli, 633.
Sekarang, hampir semua Mesopotamia rendah, (wilayah utara
Efrat), berada di bawah kendali Khalid. Sementara itu, Khalid menerima
permintaan permohonan bantuan dari Ayaz bin Ghanam di wilayah Daumat-ul-Jandal.
Agustus 633, Khalid pergi ke Daumat-ul-Jandal dan mengalahkan para pemberontak
dalam Pertempuran Daumat-ul-Jandal, menguasai benteng kota. Dalam perjalanan
kembali ke Mesopotamia, Khalid dikabarkan telah melakukan perjalanan rahasia ke
Mekah untuk berpartisipasi dalam haji.
Setelah kembali dari Arab, Khalid menerima informasi
intelijen bahwa adanya pasukan Persia dalam jumlah besar dibantu orang Kristen
Arab. Pasukan besar ini terbagi dalam empat kamp-kamp yang berbeda di wilayah
Efrat, di Hanafiz, Zumail, Saniyy dan terbesar berada di Muzayyah. Khalid
memilih menghindari pertempuran langsung melawan mereka semua. Lantas
memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan setiap kamp-kamp dalam serangan
malam hari terpisah dari tiga sisi. Dia membagi pasukannya dalam tiga unit, dan
menyerang pasukan Persia dalam serangan terkoordinasi dari tiga arah yang
berbeda pada malam hari, dimulai dari Pertempuran Muzayyah, maka Pertempuran
Saniyy, dan akhirnya Pertempuran Zumail pada bulan November 633 Masehi.
Perjuangan Khalid dalam Pembebasan Irak
Setelah serangkaian kemenangan, sampailah Khalid dan
pasukannya di Firaz yaitu perbatasan Irak dengan Syam. Dalam pertempuran
terakhir Khalid di wilayah Persia ini, bersama pasukannya Khalid menghadapi
pasukan gabungan Romawi, Persia dan Kristen Arab dalam pertempuran yang dikenal
sebagai Pertempuran Firaz. Ketika Khalid sedang dalam perjalanan untuk
menyerang Qadissiyah, sebuah benteng kunci menuju Ctesiphon, ia menerima surat
dari Abu Bakar yang memerintahkannya untuk menuju Romawi Bizantium di Suriah
dengan maksud membebaskan Syam.
Invasi Ke Wilayah Timur Kekaisaran Romawi Bizantium
Pasukan Muslimin mendatangi Syam dari 4 arah berbeda
Setelah sukses menaklukan provinsi Persia – Sassanid Irak,
Khalifah Abu Bakar mengirim sebuah ekspedisi untuk menyerang Levant (Romawi
Suriah). Invasi ini akan dilaksanakan oleh empat pasukan dari empat arah
berbeda. Bizantium menanggapi ancaman ini dengan menempatkan pasukan-pasukannya
saling berhadapan dengan masing-masing pasukan muslimin. Bizantium juga
memusatkan pasukan mereka di Ajnadyn (suatu tempat di Palestina, mungkin
al-Lajjun). Langkah pasukan muslim tertahan di wilayah perbatasan, disebabkan
kekuatan besar di pihak Romawi Bizantium. Tentara muslimin tidak lagi bebas
untuk bergerak ke Suriah pusat atau utara. Kekuatan pasukan muslimin tampaknya
terlalu kecil melawan ancaman pasukan Bizantium dalam jumlah besar, dan Abu
Ubaidah bin al-Jarrah, komandan Muslim bagian depan Suriah, meminta bala
bantuan dari Khalifah. Abu Bakar menanggapinya dengan mengirimkan bala bantuan
yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, dari Irak. Khalid yang ingin melanjutkan
perjuangannya membebaskan Persia merasa kesal. Khalid curiga bahwa perintah
Khalifah karena saran Umar bin Khattab. “Ini pasti perbuatan si kidal anak Umm
Sakhlah – yakni Umar bin Khattab – dia dengki kepadaku karena aku yang
membebaskan Irak.” kata Khalid setelah membaca surat perintah Khalifah.
Ada dua rute menuju Suriah dari Irak, salah satunya melalui
Daumat-ul-Jandal (sekarang dikenal sebagai Skaka) dan yang lainnya adalah
melalui Mesopotamia melewati Ar-Raqqah. Karena pasukan Islam di Suriah yang
membutuhkan bantuan secepatnya, Khalid menghindari rute konvensional ke Suriah
melalui Daumat-ul-Jandal karena jauh dan akan memerlukan beberapa minggu untuk
mencapai Suriah. Dia juga menghindari rute Mesopotamia karena kehadiran pasukan
Romawi di Suriah utara dan Mesopotamia. Berperang dengan mereka pada saat
pasukan muslimin sedang terkepung di Suriah, juga berarti akan terjadi
pertempuran di dua front. Khalid memilih rute yang tidak terlalu jauh ke
Suriah, jalur yang tidak biasa dilalui, yakni Gurun Suriah. Ia berjalan bersama
pasukannya melintasi gurun, di mana secara tradisi diperkirakan prajuritnya
akan berjalan selama dua hari tanpa setetes minum, sebelum mencapai sumber air
di oasis. Khalid memecahkan masalah kekurangan air dengan menggunakan metode
suku Badui. Unta yang diberi minum air yang banyak, setelah unta tersebut
sebelumnya dibuat sedemikian haus, sehingga akan mendorong unta untuk minum
banyak air pada satu waktu. Beberapa ekor unta kemudian juga dibedah perutnya
guna diambil kantong airnya untuk memberi minum kuda-kuda. Cara ini terbukti
efektif bagi pasukan muslim saat melintasi gurun.
Rute Khalid menuju Suriah dan membebaskan Syam
Khalid memasuki Suriah pada bulan Juni 634 dan dengan cepat
merebut benteng perbatasan dari Sawa, Arak, Palmyra, al-Sukhnah (Qaryatayn dan
Hawarin direbut setelah Pertempuran Qarteen dan Pertempuran Hawarin). Setelah
menundukkan kota-kota ini, Khalid bergerak menuju Bosra, sebuah kota dekat
perbatasan Suriah-Arab dan ibukota kerajaan Ghassanid Arab, pengikut dari
Kekaisaran Romawi Timur. Dia menuju arah Damaskus melewati gunung yang kini
dikenal sebagai “Sanita-al-Uqab” (“jalan tembus Uqab”) dinamai demikian karena
pasukan Khalid mengibarkan al-Uqab, bendera Rasulullah. Dalam perjalanan di
Maraj-al-Rahat, Khalid melewati tentara Ghassanid Kristen Arab dan terjadi
pertempuran singkat yang dikenal sebagai Pertempuran Marj al-Rahit.
Dengan kabar kedatangan Khalid, Abu Ubaidah memerintahkan
Syurahbil bin Hasanah, salah satu dari empat komandan pasukan muslimin, untuk
menyerang kota Bosra. Pasukan Syurahbil bin Hasanah yang kalah jumlah,
ditertawakan oleh pasukan Romawi Byzantium dan Kristen Arab yang berpikir akan
mudah mengalahkannya, namun tanpa mereka duga pasukan Khalid tiba dari gurun
dan menyerang sisi belakang pasukan Romawi Bizantium, menyelamatkan Shurhabil
dari kekalahan. Pasukan musuh lantas mundur ke benteng kota. Abu Ubaidah
bergabung bersama Khalid bin Walid di Bosra. Kemudian Khalid, sesuai instruksi
dari khalifah, mengambil alih komando tertinggi. Benteng Bosra menyerah pada
pertengahan Juli 634, efektif mengakhiri dinasti Ghassanid. Setelah merebut Bosra,
Khalid memerintahkan semua pasukan untuk bergabung dengannya di Ajnadayn, di
mana mereka berjuang dalam pertempuran menentukan melawan Bizantium tanggal 30
Juli 634. Sejarawan modern menganggap pertempuran ini adalah pertempuran paling
menentukan dalam mengakhiri kekuasaan Bizantium di Suriah.
Akibat kekalahan di Pertempuran Ajnadayn, wilayah kiri
Suriah rentan terhadap tentara muslim. Sekarang, Khalid bin Walid memutuskan
untuk merebut Damaskus, benteng Bizantium. Di Damaskus, Thomas, anak angkat Heraklius
Kaisar Byzantium, yang bertanggung jawab atas pertahanan kota, mendapat
informasi intelijen, bahwa pasukan Khalid bergerak menuju Damaskus, ia
mempersiapkan pertahanan kota. Dia menulis kepada Kaisar Heraklius, yang pada
saat itu di Emesa, untuk mengirim bala bantuan. Selain itu, Thomas, dalam
rangka untuk menunda atau menghentikan pergerakan pasukan Khalid mengirimkan
pasukannya untuk bergerak maju. Dua pasukannya dikirim. Yang pertama di Yaqusa
pada pertengahan bulan Agustus dan yang lainnya di Maraj as-Saffer pada tanggal
19 Agustus. Sementara itu, sebelum bala bantuan Heraklius mencapai Damaskus,
Khalid mengisolasi Damaskus dengan menempatkan detasemen selatan di jalur
Palestina dan di utara di jalur Damaskus dengan Emesa, dan beberapa detasemen
lain yang lebih kecil pada rute menuju Damaskus. Bala bantuan Heraklius dicegat
dan diserang oleh pasukan Khalid di Pertempuran Sanita-al-Uqab, 30 km dari
Damaskus.
Khalid memimpin serangan dan menaklukkan Damaskus pada
tanggal 18 September 634 setelah pengepungan selama 30 hari. Menurut beberapa
sumber, pengepungan ini berlangsung selama sekitar empat atau enam bulan.
Kaisar Heraklius yang menerima berita jatuhnya Damaskus, berangkat ke Antiokhia
dari Emesa. Kavaleri muslimin di bawah Khalid menyerang pasukan Bizantium dari
Damaskus yang juga menuju ke Antiokhia, menyusul mereka menggunakan jalan
pintas yang tidak diketahui, dalam Pertempuran Maraj-al-Debaj, 150 kilometer
sebelah utara Damaskus.
Abu Bakar meninggal selama pengepungan Damaskus dan Umar menjadi
khalifah baru. Khalid bin Walid kemudian dipecat sebagai panglima perang
pasukan muslimin oleh Umar bin Khattab. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin al-Jarrah
sebagai panglima baru dalam pasukan Islam di Suriah. Abu Ubaidah mendapat surat
pengangkatan dan pemberhentian Khalid selama pengepungan, tetapi ia menunda
pengumuman sampai kota itu ditaklukkan.
Era Khalifah Umar Bin Khattab (634–642)
Pada tanggal 22 Agustus 634, Abu Bakar meninggal, dan Umar
bin Khattab menggantikannya sebagai khalifah. Langkah pertama Umar adalah
membebastugaskan Khalid dari komando tertinggi pasukan muslimin dan mengangkat
Abu Ubaidah sebagai komandan baru pasukan muslimin. Hubungan antara Khalid
dengan Umar telah menegang sejak insiden Malik bin Nuwairah. Akibatnya terjadi
krisis kepercayaan antara keduanya. Sosok Khalid yang tak terkalahkan, membuat
Umar khawatir seandainya kaum muslimin melupakan fakta bahwa semua kemenangan
ini karena pertolongan Allah.
Umar menjelaskan alasannya memecat Khalid mengatakan: “Saya
tidak memecat Khalid bin Walid karena benci atau pengkhianatan tetapi karena
semua orang sudah terpesona, saya khawatir orang hanya percaya kepadanya dan
hanya akan berkorban untuknya. Maka saya ingin mereka tahu bahwa Allah Maha
Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah.”
Setelah dipecat sebagai panglima perang, Khalid masih
melanjutkan perjuangan pembebasan Syam dibawah pimpinan Abu Ubaidah. Abu
Ubaidah yang seorang pengagum Khalid, memberinya komando kavaleri dan
menjadikannya sebagai penasihat militer.
Peta rute Khalid bin Walid dalam Pembebasan Suriah utara
Peta rute Khalid bin Walid dalam ekspedisi ke Armenia dan
Anatolia
Aksi heroik Khalid sangat membantu Abu Ubaidah dalam
Penaklukan Levant Tengah, Pertempuran Emesa, Pertempuran Damaskus bagian kedua,
Pertempuran Yarmuk, Penaklukan Yerusalem, Penaklukan Suriah Utara dan
Perjalanan ke Armenia dan Anatolia.
Pemecatan Khalid bin Walid Dari Kemiliteran
Khalid bin Walid, sekarang, berada di puncak karir, ia
terkenal dan dicintai oleh anak buahnya, bagi kaum muslimin dia adalah seorang
pahlawan nasional, publik mengenalnya sebagai Saifullah – “Pedang Allah”.
Ketenarannya tampak membuat risau Khalifah Umar, yang khawatir bila Khalid
dibiarkan terus semaunya suatu hari ia akan mencapai puncak kesombongan dan
kezalimannya, tak lagi peduli dengan perintah Khalifah. Karena itu Umar
membutuhkan alasan untuk mengambil tindakan hukum terhadap Khalid. Dia
menemukan satu alasan seperti ketika Khalid, selama tinggal di Amid, Armenia,
mandi dengan dengan zat tertentu yang mengandung khamr. Umar dalam suratnya
kepada Khalid menanyakan perihal ini. Khalid menjawab, “Kami sudah menolaknya
tetapi bahan pembersih tak ada selain khamr.”
Khalid juga diduga membayar Asy’as bin Qais, seorang penyair
dan pahlawan perang Persia untuk membacakan puisi yang memujinya dengan bayaran
sebesar 10.000 dirham yang diduga menggunakan kas negara. Karena itu Umar
menuduhnya menyalahgunakan keuangan negara. Umar kemudian menulis surat kepada
Abu Ubaidah supaya memanggil Khalid, dan mengikatnya dengan serbannya serta
melepaskan qalansuwah-nya (topi kebesaran) sampai terungkap pemberiannya kepada
Asy’as bin Qais. Dari harta sendiri atau dari harta rampasan perang. Kalau dia
mengatakan itu adalah harta rampasan perang, maka itu adalah bukti pengkhianatannya.
Dan bila dia mengatakan itu dari hartanya sendiri maka itu berarti pemborosan.
Bagaimanapun juga ia mendapat perintah memecat Khalid bin Walid.
Abu Ubaidah yang mengagumi Khalid dan menghormati Khalifah
Umar pun menjadi kebingungan. Bagaimanapun juga, Khalid akhirnya dipanggilnya
namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kurir Umar (yakni muadzin Nabi,
Bilal). Dihadapan pasukannya Khalid naik ke atas mimbar, lalu Bilal pun
menanyakan asal muasal hadiah pemberian kepada Asy’as bin Qais. Khalid
menyatakan bahwa itu semua dari hartanya sendiri. Kejadian ini membuat Khalid
marah dan merasa dipermalukan.
Kemudian Khalid pun mengunjungi Abu Ubaidah yang lantas
memberitahunya bahwa dirinya dipecat atas perintah Khalifah Umar bin Khattab,
dan diminta kembali ke Medinah. Di Medinah, dalam keadaan marah Khalid menemui
Umar dan menyatakan protes terhadap perlakuan yang tidak adil kepadanya. Umar
lalu menenangkannya dengan berkata, “Apa yang telah anda telah lakukan dan
tidak ada seorang pun yang melakukan seperti yang anda lakukan. Tapi ini bukan
tentang orang yang melakukan, Allah-lah yang melakukan….”
Kematian Khalid bin Walid
Kurang dari empat tahun setelah pemecatannya, Khalid
meninggal dan dikuburkan di 642 di Emesa, di mana ia tinggal sejak pemecatannya
dari kemilteran. Makamnya sekarang merupakan bagian dari sebuah masjid bernama
Masjid Khalid bin al-Walid. Nisan Khalid menggambarkan daftar lebih dari 50
pertempuran yang ia menangi tanpa kekalahan (tidak termasuk pertempuran kecil).
Masjid Khalid bin al-Walid
Dikisahkan bahwa ia ingin mati sebagai martir di medan
pertempuran, dan sangat kecewa ketika menyadari dirinya akan mati di tempat
tidur. Khalid mengungkapkan rasa sedihnya dengan berkata,
“Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid,
tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang
atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati.
Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur.”
Keluarga Khalid bin Walid
Ayah Khalid bernama Walid bin al-Mughira dan sang ibu
bernama Lubabah as-Saghirah. Walid dikabarkan memiliki banyak istri dan anak,
namun hanya beberapa saja yang tercatat dalam sejarah.
Putra Walid bin al-Mughira: (Saudara lelaki Khalid):
Hisham bin Walid
Walid bin Walid
Ammarah bin Walid
Abdul Shams bin Walid
Putri Walid bin al-Mughira: (Saudara perempuan Khalid):
Faktah binti Walid
Fatimah binti Walid
Najiyah binti al-Walid (masih diperselisihkan)
Tidak diketahui berapa banyak anak yang dimiliki Khalid,
namun tiga putra dan seorang putri tercatat dalam sejarah.
Sulaiman bin Khalid
Abdulrehman bin Khalid
Muhajir bin Khalid
Sulaiman bin Khalid (putra tertua), tewas dalam penaklukan
Mesir, Muhajir bin Khalid meninggal dalam Pertempuran Siffin saat berperang di
sisi Khalifah Ali dan Abdulrehman bin Khalid menjadi Gubernur Emesa saat
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan serta berpartisipasi dalam Pertempuran
Siffin sebagai salah satu jenderal dari Muawiyah I, ia juga bagian dari pasukan
Umayyah yang mengepung Konstantinopel pada tahun 664. Abdulreman kemudian akan
ditunjuk sebagai penerus dari Khalifah Muawiyah, tetapi menurut beberapa narasi
(Kemungkinan besar dari Sumber Syiah) ia diracun oleh Muawiyah, karena Muawiyah
ingin membuat anaknya Yazid I menjadi penggantinya. Garis keturunan laki-laki
dari Khalid diyakini telah berakhir dengan cucunya, Khalid bin Abdur-Rahman bin
Khalid.